FGD Border Control and Security di Grand Sahid Hotel, Senin 10 Oktober 2019

Ketua Umum Ika Poltekim, Prof. Dr. M. Iman Santoso, SH.,MA.,MH. memberikan pemaparan terkait dengan tugas dan fungsi keimigrasian dengan judul Konsep Border Control Management yang sesuai dengan lingkungan stratejik dan geopolitik Indonesia.

KONSEP BORDER CONTROL MANAGEMENT

YANG SESUAI DENGAN LINGKUNGAN STRATEJIK

DAN GEOPOLITIK INDONESIA”

Oleh:

Prof. Dr. M. Iman Santoso, SH., MH., MA.

 

Disampaikan pada Fokus Group Discussion

Direktorat Jenderal Imigrasi

Kementerian Hukum dan HAM RI

Jakarta, 10 Oktober 2019

  1. PENDAHULUAN

Makalah ini disusun dalam rangka Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Ham RI yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2019. Adapun TOR beserta data yang disampaikan oleh Panitia mengenai Pengawasan Perbatasan (Border Control), dengan judul bahasan yang ditugaskan yaitu “Konsep Border Control Management Yang Sesuai Dengan Lingkungan Stratejik dan Geopolitik Indonesia”.

Makna dari judul yang diberikan ini saya menilai sangatlah luas artinya, terutama makna yang dimaksud dengan kata geopolitik. Pemahaman mengenai geopolitik dapat dikatakan sebagai ilmu atau studi mengenai penyelenggaraan Negara yang tiap-tiap kebijakannya selalu dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau daerah pada suatu bangsa sehingga dapat dikatakan geopolitik ini merupakan peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksaan serta juga strategi nasional yang didorong oleh kepentingan nasional geografik. Dengan demikian geopolitik akan merupakan pemahaman yang bersifat multidimensi serta multidisipliner. Geopolitik di Indonesia dalam aplikasinya biasa juga disebut dengan WAWASAN NUSANTARA yang melingkup berbagai gatra sebagai aspek-aspek dari geopolitiknya, yang pada ahirnya kita akan membicarakan Sistem Ketahanan Nasional Indonesia.

  1. INSTRUMEN DASAR.
  1. KEDAULATAN NEGARA

Pemahaman mengenai kedaulatan Negara berarti kekuasaan tertinggi yang menjadi sifat atau ciri hakiki suatu Negara. Namun kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas yang dibatasi oleh batas-batas wilayah Negara, yang artinya bahwa suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas-batas wilayahnya baik wilayah darat, udara dan laut. Kedaulatan mempunyai arti bahwa negara mempunyai hak kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorialnya dalam batas-batas wilayah Negara yang bersangkutan. Prinsip kedaulatan di dalam Piagam PBB merupakan salah satu prinsip dasar yang paling penting dan dihormati terutama di dalam kesamaan posisi hak antar Negara di dunia, dalam hal ini merupakan salah satu prinsip atau doktrin yang disebut dengan “jus cogens” atau “peremptory norms”.

Dalam mengimplementasikan kebijakan politiknya setiap negara harus memperhatikan prinsip Kedaulatan Negara. Negara-negara yang berdaulat memiliki hak-hak ekslusif berupa kekuasaan, yaitu:

  1. Kekuasaan untuk mengendalikan persoalan domestik;

  2. Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang asing;

  3. Hak-hak istimewa untuk membuka perwakilan diplomatiknya di Negara lain;

  4. Yurisdiksi penuh atas kejahatan yang dilakukan dalam wilayahnya.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa di dalam suatu kedaulatan terdapat suatu wilayah kewenangan/yurisdiksi yang melekat dan tidak dapat terpisahkan dari kedaulatan itu sendiri.

Sedangkan yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki Negara untuk melaksanakan ketentuan hukum nasional suatu Negara yang berdaulat dan ini merupakan bagian implementasi kedaulatan dalam yurisdiksi Negara pada batas-batas wilayahnya yang melekat di setiap Negara berdaulat. Masyarakat internasional mengakui bahwa setiap Negara mempunyai hak ekslusif (reserved domain/domestic jurisdiction of state) karena adanya prinsip kedaulatan Negara dalam batas wilayah Negara yang bersangkutan tanpa keterikatan atau pembatasan hukum inter-nasional.

Yurisdiksi ini bersumber pada kedaulatan Negara yang melahirkan kewenangan/kekuasaan Negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam Negara. Selain setiap Negara mempunyai hak eksklusif, setiap Negara juga memiliki kewenangan untuk memperluas yurisdiksi criminal terhadap suatu tindak pidana sepanjang implementasi perluasan yurisdiksi criminal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Hal ini mempertegas bahwa konsep yurisdiksi dan konsep kedaulatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Ada 4 (empat) prinsip yang digunakan untuk melandasi yurisdiksi Negara yang terkait dalam hubungannya dengan hukum internasional, yakni Yurisdiksi Teritorial, Yurisdiksi Individu, Yurisdiksi Perlindungan dan Yurisdiksi Universal.

Kata ‘Kedaulatan’ berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘sovereignty’ yang berasal dari kata Latin ‘superanus’ berarti ‘yang teratas’. Negara dikatakan berdaulat atau ‘sovereign’ karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Bila dikatakan bahwa Negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu:

  1. Kekuasaan terbatas pada batas wilayah Negara yang memiliki kekuasaan itu.

  2. Kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu Negara lain dimulai.

Dalam konteks hubungan internasional, prinsip kedaulatan Negara (state sovereignty) merupakan salah satu prinsip penting di dalam hukum internasional bahkan termasuk salah satu prinsip atau doktrin jus cogens, yaitu :

suatu norma yang diterima sebagai norma dasar hukum inter-nasional dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar”

Prinsip kedaulatan Negara menetapkan bahwa suatu Negara memiliki kekuasaan atas suatu wilayah/territorial serta hak-hak yang kemudian timbul dari penggunaan kekuasaan territorial. Kedaulatan mengandung arti bahwa Negara mempunyai hak kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorialnya dalam batas-batas wilayah Negara yang bersangkutan. Mengenai yurisdiksi, masyarakat internasional mengakui bahwa setiap Negara mempunyai hak ekslusif (reserved domain/domestic jurisdiction of state) karena adanya prinsip kedaulatan negara dalam batas wilayah Negara yang bersangkutan tanpa ada keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional. Titik taut antara yurisdiksi dengan migrasi internasional terletak pada sifat yurisdiksi yang dikenal dengan istilah yurisdiksi yang bersifat sementara (transient jurisdiction). Hal ini juga menjadi objek utama pembahasan dalam materi ini terutama kaitan peran keimigrasian untuk melindungi kepentingan Negara dari yurisdiksi yang bersifat sementara akibat keberadaan dan kegiatan orang asing selama berada di Indonesia, demikian pula sebaliknya bagi Waganegara Indonesia yang sedang berada di luar negeri.

Ada 2 (dua) asas yang digunakan untuk melandasi yurisdiksi Negara yang terkait dalam hubungannya dengan hukum internasional, yakni:

  1. Asas territorial, yang menetapkan bahwa yurisdiksi Negara berlaku atas orang, perbuatan, dan benda yang ada diwilayahnya.

  2. Asas territorial yang diperluas, yang menetapkan bahwa yurisdiksi Negara berlaku atas orang, perbuatan dan benda yang ada diwilayahnya, juga berlaku untuk orang, perbuatan dan benda yang terkait dengan Negara tersebut yang ada di luar wilayahnya.

Dari asas territorial ini dapat dikatakan bahwa suatu Negara memiliki kewenangan legislative, kewenangan yudikatif dan kewenangan administrative terhadap orang, benda dan perbuatan baik di dalam wilayah negaranya maupun di luar wilayah negaranya, sepanjang hal-hal tersebut berkaitan dengan kepentingan dan perlindungan Negara.

  1. POLITIK HUKUM IMIGRASI.

Sejak diserahterimakannya Immigratie Dienst dari Pemerintah Belanda pada saat penyerahterimaan Kedaulatan RI kepada Pemerintah Repubik Indonesia pada tahun 1950, maka dibentuklah Djawatan Imigrasi yang dikendalikan oleh putra-putra bangsa Indonesia. Pengalihan tugas keimigrasian yang terjadi juga telah mengubah Politik Hukum Keimigrasian Indonesia, yang sebelumnya menganut azas “Pintu Terbuka” / Open Door Policy menjadi azas Selective Policy. Selective Policy pada dasarnya dimaksudkan agar hanya kepada orang-Orang asing yang bermanfaat saja yang dapat diijinkan masuk ke wilayah Indonesia. Dalam perjalanannya dinamika keimigrasian mengalami pasang surut yang mempengaruhi pembentukan berbagai peraturan perundangan dibidang keimigrasian, seperti Kebijakan Pemerintah dibidang Pariwisata yang memberikan fasilitas Bebas Visa untuk 169 negara.

  1. United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS).

Letak Indonesia yang berada di antara dua benua Asia dan Australia serta Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik dan merupakan Negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari kurang lebih 17.590 pulau memiliki luas 18 juta kilometer persegi. Perairan Indonesia terdapat beberapa buah selat penting bagi pelayaran internasional. Beberapa selat itu seperti Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Wetar dan lain-lainnya.

Menurut hukum laut lama yang terdapat dalam Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) atau dikenal dengan singkatan TZMKO, Stbl. 1939 Nomor 442, artikel 1 ayat (1) menegaskan:

Laut Teritorial Hindia Belanda adalah wilayah laut yang terletak pada sisi laut sampai selebar 3 (tiga) mil dari garis pasang surut pulau-pulau Hindia Belanda atau bagian pulau-pulau.”

Dari segi keutuhan, keamanan, dan pertahanan wilayah jelas bahwa penatapan batas laut oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak menguntungkan karena wilayah Hindia Belanda ditentukan bahwa lebar garis kedaulatan antar pulau dengan pulau lainnya hanya selebar 3 (tiga) mil saja. Dengan pembatasan ini maka terdapat banyak wilayah yang termasuk laut bebas dimana kapal-kapal asing dapat dengan leluasa berlayar.

Pada pasca kemerdekaan untuk mencegah agar lautan Indonesia tidak digunakan kapal-kapal asing yang dapat mengancam keutuhan Negara, pemerintah Indonesia kemudian mengambil langkah pengintegrasian wilayah RI sebagai suatu wilayah yang utuh menyeluruh dengan mengumumkan berlakunya Asas Negara Kepulauan (archipelago state principles) pada tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan Deklarasi Juanda menyatakan:

Segala perairan di sekitar di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau termasuk daratan Negara Indonesia, dengan tidak memandang lebar atau luasnya adalah bagian dari wilayah Indonesia. Penentuan batas laut territorial diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indoensia sejauh 12 mil.

Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong Pemerintah Indonesia menyatakan wilayah Perairan Indonesia adalah:

  1. Bahwa bentuk geografis Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang mempunyai sifat dan corak tersendiri;

  2. Bahwa semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;

  3. Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang terdapat dalam TZMKO sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan Negara Indonesia;

  4. Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak mengambil tindakan untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

Berdasarkan Deklarasi Juanda, maka menjadi jelas bahwa “segala perairan di antara dan di sekitar pulau-pulau “dijadikan wilayah nasional Indonesia. Deklarasi ini kemudian dikokohkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Prp tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia yang dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1966 Tentang Perairan Indonesia membawa akibat hukum yang besar sekali maknanya bagi Indonesia dan bagi dunia pada umumnya, khususnya bagi Negara-negara Asia Tenggara dan sekitarnya. Akibat hukum yang terpengaruh langsung adalah bidang pelayaran internasional. Hal ini dikarenakan bagian laut lepas (high seas) yang tadinya bebas berdasarkan TZMKO, kini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1960 menjadi wilayah kedaulatan nasional Republik Indonesia.

Kedaulatan Negara di laut yang diatur oleh Konvensi PBB Tentang Hukum Laut tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS). Indonesia sudah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, sehingga ketentuan tersebut mengikat Indonesia. Pasal 2 ayat (1) Konvensi PBB Tentang Hukum Laut tahun 1982 itu menegaskan bahwa:

The Sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and in case of archipelago State, its archipelago waters, to an adjacent belt of sea,, described as the territorial sea.”

Maksudnya adalah bahwa kedaulatan Negara Pantai (a coastal State) mencakup wilayah daratnya dan perairan pedalaman. Kedaulatan Negara Kepulauan (an archipelago State) meliputi perairan kepulauan yang berbatasan dengannya yang dinamakan Laut Teritorial. Ayat (2) pasal ini mempertegas bahwa:

Kedaulatan mencakup ruang udara di atas laut territorial dan juga dasar laut dan tanah dibawahnya.”

Pasal 3 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 menegaskan:

Every state has the right to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 natical miles, measured from baselines determined in accordance with this Convention.”

Artinya, setiap Negara berhak menetapkan lebar laut territorial tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang ditentukan Konvensi. Lebar laut territorial 12 mil setiap Negara ini merupakan kedaulatan setiap Negara. Indonesia sebagai Negara pantai yang sekaligus Negara kepulauan berlaku dengan pembatasan-pembatasan hak yang dimiliki Negara lain seperti hal lintas damai namun pihak asing harus menghormati hukum Indonesia.

Wilayah di dalam batas 12 mil laut merupakan wilayah kedaulatan Indonesia tetapi di luar batas 12 mil bukan lagi kedaulatan Indonesia, melainkan bentuk pelaksanaan yurisdiksi Indonesia, seperti:

  1. Zona Tambahan (Contiguous Zone),

  2. Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone)

Menurut pasal 33 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 bahwa:

Setiap Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan (control) yang diperlukan untuk:

  1. Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai (custom), fiskal (fiscal), imigrasi (immigration) atau saniter (sanitary) di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya;

  2. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan di dalam wilayahnya atau laut territorial.

Demikian juga Indonesia dapat melaksanakan yurisdiksinya di zona ekonomi ekslusif berupa hak berdaulat (sovereignty rights) bukan kedaulatan. Hak ini berkenaan dengan kegiatan untuk kepentingan ekonomi seperti eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan dan pemeliharaan sumber kekayaan alam, pembuatan pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Meskipun hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Ekslusif berkaitan dengan kepentingan ekonomi, tetapi tidak menutup kemungkinan zona ini digunakan untuk tindakan kejahatan transnasional, baik berupa kejahatan perdagangan manusia, penyelundupan migran, maupun transaksi-transaksi illegal lainnya yang terjadi di laut. Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk mengawasi zona ini supaya tidak digunakan oleh kelompok kejahatan terorganisasi. Pasal 60 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi:

The Coastal State shall have exclusive jurisdiction over such artificial islands, installations, structures, including jurisdiction with regard to customs, fiscal, health, safety and immigration laws and regulation.”

Maksudnya adalah bahwa Negara pantai mempunyai yurisdiksi ekslusif atas pulau buatan, instalasi dan pembangunan. Termasuk yurisdiksi bertalian dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan termasuk keimigrasian. Menurut Konvensi Hukum Laut tahun 1982, kedaulatan suatu Negara di laut hanya ada di dalam batas laut territorial, sedangkan di zona tambahan dan Zona Ekonomi Ekslusif terdapat hak berdaulat dan yurisdiksi seperti dikemukakan di atas.

Seperti telah disampaikan, memperlihatkan bahwa yurisdiksi merupakan aspek kedaulatan yang dimiliki suatu Negara yang meliputi kewenangan legislative, kewenangan administrative, dan kewenangan yudisial yang erat kaitannya dengan fungsi keimigrasian. Untuk menggambarkan keterkaitan operasionalisasi tugas pokok dan fungsi keimigrasian di wilayah NKRI dengan konsep kedaulatan Negara secara jelas, dapat digambarkan ke dalam konstruksi pemikiran sebagai berikut:

Dapat ditegaskan dalam pembahasan mengenai teori kedaulatan dan yurisdiksi apabila dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelago state), maka ada dua wilayah kedaulatan pada pengertian fungsi keimigrasian, yaitu Wilayah Kedaulatan NKRI (state souvereignty) yang didalam ketentuannya adalah selebar 12 mil laut (pasal 3 UNCLOS) dan Wilayah Berdaulat NKRI (souvereignty right) yaitu pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) selebar 200 mil laut dari garis pantai kepulauan (Pasal 57 UNCLOS), dalam hal ini berarti fungsi keimigrasian harus bekerja dan memiliki kewenangan dengan kedua wilayah tersebut, fungsi imigrasi berwenang untuk melakukan pengaturan, pelayanan dan pemberian perizinan keimigrasian, pengawasan serta melakukan penegakkan hukum baik pada Wilayan Kedaulatan maupun pada Wilayan Berdaulat (Pasal 33 ayat 1 dan Pasal 60 ayat 2 UNCLOS). Seharusnya di dalam Undang-Undang Keimigrasian kedua wilayah kewenangan ini dinyatakan dengan tegas secara eksplisit, namun sayang hanya kewenangan dalam Wilayah Kedaulatan NKRI saja yang dinyatakan secara eksplisit, sedangkan kewenangan di Wilayah Berdaulat/Hak Berdaulat hanya dinyatakan secara implicit, padahal tegas-tegas di dalam Pasal 33 ayat 1 dan Pasal 60 ayat 2 UNCLOS disana tertera wewenang dan kewajiban fungsi keimigrasian. Memang saat ini instansi Imigrasi dalam praktiknya sudah memberlakukan adanya system pengawasan keimigrasian pada wilayah ZEE berupa pemberian perizinan dan pengawasan keimigrasian yaitu ditetapkannya Kemudahan Khusus Keimigrasian (Dahsuskim).

  1. UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN VERSUS UNDANG-UNDANG KEPABEANAN.

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG KEPABEANAN.

Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Pasal 1:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan Negara.

2. Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang.

3. Fungsi Imigrasi adalah bagian dari urusan pemerintahan Negara dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakkan hukum, keamanan Negara dan fasilitas pembangunan kesejahteraan rakyat.

Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1959

Tentang Kepabeanan

Pasal 1:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.

  2. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang ini.

Terlihat adanya perbedaan dari kedua Undang-Undang di atas pada fokus pengawasan dan pelaksanaan fungsi di dalam wilayah yurisdiksinya dimana dalam Undang-Undang Keimigrasian tidak secara tegas (eksplisit) menyebutkan Wilayah Kedaulatan (State Souvereignty) NKRI dan Wilayah Berdaulat (Souvereignty Right) NKRI menurut ketentuan dalam UNCLOS.

  1. KONVENSI PBB MELAWAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL TERORGANISASI (UNCTOC)

    1. Pada dasarnya bertujuan:

  1. Meningkatkan kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional terorganisasi.

  2. Menetapkan standar prosedur dalam rangka pemberantasan kejahatan terorganisasi.

    1. Pasal 27, 28, 29 Konvensi mengatur kerjasama penegakkan hukum berupa kerja sama pertukaran informasi, hasil analisa, monitoring serta pelatihan bersama dalam memberantas kejahatan transnasional terorganisasi.

    2. – Pasal 10 Protokol Perdagangan Orang Konvensi TOC mengamanatkan fungsi keimigrasian untuk menyelenggarakan/mengatur pertukaran informasi dan pelatihan antara aparat imigrasi dan Badan lain yang berwenang yang berkaitan dengan perlintasan perbatasan internasional terutama dalam penggunaan dokumen perjalanan yang dicurigai dipalsukan.

Di samping itu juga diwajibkan melakukan pelatihan-pelatihan untuk mencegah terjadinya perdagangan orang.

  • Pasal 11 Protokol Perdagangan Orang menegaskan bahwa Negara peserta harus memperkuat pengawasan dan perlintasan manusia guna mencegah dan mendeteksi perdagangan manusia.

Dalam pasal ini juga diwajibkan bahwa Negara peserta harus memperkuat kerja sama antara Badan Pengawas Perbatasan (Border Control Agencies) seperti pembentukan saluran komunikasi langsung.

    1. – Pada Protokol Penyelundupan Migran pasal 10 ini diwajibkan bahwa Negara peserta harus bertukar informasi misalnya berkaitan dengan modus dan jalur penyelundupan migran.

  • Upaya perbatasan (Border Measures) yang diatur dalam pasal 11 menyatakan bahwa semua Negara peserta harus memperkuat pengawasan di perbatasan guna mencegah dan mendeteksi kejahatan penyelundupan migran.

  • Pasal 14 Protokol Penyelundupan Migran menegaskan bahwa semua Negara peserta harus memberikan/memperkuat pelatihan khusus bagi pejabat imigrasi dan pejabat lainnya yang berkaitan guna mencegah kejahatan penyelundupan migran.

  1. BEBERAPA BENTUK ORGANISASI PENGAWASAN PERBATASAN

  1. U.S IMMIGRATION AND CUSTOMS ENFORCEMENT (ICE)

ICE was created in 2003 through a merger of investigative and interior enforcement elements of the former U.S Customs Service and the Immigration and Naturalization Service. ICE now has more than 20.000 law enforcement and support personnel in more than 400 offices in the United States and around the world.

The agency has an annual budget of approximately $6 billion, primarily devoted to three operational directorates – Homeland Security Investigations (HSI). Enforcement and Removal Operations (ERO) and Office of the Principal Legal Advisor (OPLA). A fourth directorate – Management and Administration (M&A) – support the three operational branches to advance the ICE mission.

ICE’S mission is to protect America from the cross-border crime and illegal immigration that threaten national security and public safety.

This mission is executed through the enforcement of more than 400 federal statutes and focuses on smart immigration enforcement, preventing terrorism and combating the illegal movement of people and goods.

  • Immigration Enforcement

Securing our nation’s borders and safeguarding the integrity of our immigration system is a primary focus of ICE officers and agents throughout the country. Immigration enforcement is the largest single area of responsibility for ERO and is a critical component of the overall safety, security, and well-being of our nation.

While ERO has significant assets near the border, the majority of its immigration enforcement mission takes place in the interior of the country. To accomplish ICE’s important immigration enforcement objectives, ERO coordinates closely with law enforcement partners within the U.S. and around the world. One of the most notable law enforcement coordination and partnership efforts within ERO involves the biometric and biographic identification of priority aliens who are incarcerated within federal, state, and local prisons and jails.

ERO works with law enforcement partners in the shared responsibility for ensuring the safety of our communities through a variety resources and programs. The 287(g) program enables a state or local law enforcement entity to receive delegated authority, training, and technology resources for immigration enforcement within their jurisdictions. ICE’s Law Enforcement Support Center coordinates response and enforcement actions with law enforcement partners using biometrics to identify foreign-born individuals arrested for criminal offenses.

ERO also enhances the impact of multi-agency task forces through its administrative authority to arrest individuals deemed a threat to public safety on their unlawful immigration status without additional criminal charges. Finally, leveraging resources available through foreign law enforcement partners including INTERPOL and the ICE Attaché corps, ERO develops investigative leads and provides support in locating and arresting foreign nationals wanted for crimes committed abroad who are now at-large in the U.S.

  • Combating Transnational Crime

As one of the country’s premier federal law enforcement agencies, ICE is dedicated to detecting and dismantling transnational criminal networks that target the American people and threaten our industries, organizations and financial systems. Combating cross-border criminal activity is the largest single area of responsibility of HSI, and is a critical component of the overall safety, security, and well-being of our nation.

HSI investigates the criminal enterprises that engage in a broad range of illicit activity including narcotics trafficking, human trafficking, gang violence, money laundering and other financial crimes, intellectual property theft, and customs fraud. HSI also investigates a broad range of cybercrime, including child exploitation in the commitment to securing both physical and virtual borders.

HSI is committed to identifying and disrupting the movement of illicit proceeds generated by these criminal organizations and activities in an effort to safeguard our nation’s trade, travel and financial systems.

Our workforce maintains effective relationships throughout the global law enforcement community and works closely with our domestic and international partners at every level to ensure the safety of all Americans.

Browse through the “Investigating the Illegal Movement of People and Goods” category of the What We Do drop-down menu to learn more.

  • Preventing Terrorism

With a workforce numbering approximately 20,000 including deportation officers, special agents, analysts, and professional staff, ICE stands at the forefront of our nation’s efforts to strengthen border security and prevent the illegal movement of people, goods, and funds into, within, and out of the United States. The agency’s broad investigative authorities are directly related to our country’s ongoing efforts to combat terrorism at home and abroad.

HSI is the largest contributor to the FBI-led Joint Terrorism Task Forces and employs its unique and exclusive immigration and trade-based authorities to disrupt terrorist networks and prevent attacks against the homeland. This work includes HSI initiating investigations into transnational criminal organizations and subjects of national security concern or interest who are involved in narcotics smuggling, human trafficking and smuggling, and immigration document and benefit fraud, as well as investigating trade-based money laundering and intellectual property crimes used to finance or support terrorists or their activities. HSI is also responsible for preventing terrorist groups, illicit procurement networks, and hostile nations from acquiring U.S. military hardware, sensitive technical data, dual-use technology, and other materials used to develop weapons of mass destruction.

HSI and ERO are recognized as essential partners in numerous national and international task force operations that target terrorist activities and are dedicated to investigating, prosecuting, and removing human rights violators and war criminals to prevent the U.S. from becoming a safe haven.

USA International Sea, Air and Land Port total 71.

Source: https://www.ice.gov

  1. AUSTRALIAN BORDER FORCE (ABF)

Australia’s frontline border law enforcement agency and customs service. Operationally independent body within the Home Affairs portfolio.

Mission: is to protect Australia’s border and enable legitimate travel and trade.

Vision: is to be a global leader in border law enforcement and trusted partner that helps build a safe, secure and prosperous Australia.

Aim to facilitate the movement of people and goods across the border. Work closely with other agencies to share knowledge, expertise and intelligence in order to detect, deter and prosecute those who attempt to do us harm at the border. The work contributes to safeguarding Australia’s national security.

AIRPORTS AND SEAPORTS

The Australian Border Force (ABF) plays an important role at their airports and seaports.

They protect Australia’s border and enable legitimate travel and trade, safeguard their border from people who seek to commit immigration fraud or threaten Australia’s safety and security.

Their officers work in:

  • all of Australia’s major and regional international airports

  • more than 60 international seaports around the country including those in remote areas such as mining ports

  • locations where international air and sea cargo, including international mail, are processed after import or before export

Their units

Border Force Officers

Border Force Officers use their experience and training to ensure that people and goods entering and leaving Australia through both our seaports and airports adhere to our strict border controls.

People

When working with travellers who are arriving and departing Australia, their officers:

  • check the identity of all travellers and ensure they have relevant travel documentation in place

  • examine people, baggage, aircraft and ships and small craft for drugs, tobacco, prohibited goods and images

  • seize illegal goods and regulated items, for example certain types of wildlife products

  • detect undeclared currency

  • collect duty and tax on imported goods such as alcohol and cigarettes

  • process GST refund claims for travellers

They use the Incoming Passenger Card as a declaration of person’s entry into Australia, and to provide information on a person’s health, character details and biosecurity information.

Baggage, cargo and mail

They work with biosecurity officers to x-ray or inspect baggage and cargo. Also check arriving mail before it goes to distribution centres. Look for items that could put Australia’s security, economy, environment or health at risk.

Sometimes hold cargo or mail until duty or GST are paid, and/or see a valid import permit. And may seize prohibited goods and border controlled substances, or the Department of Agriculture may seize them if they present a biosecurity risk.

Counter terrorism

The Counter Terrorism Units enhance the ABF’s capability to deal with both inbound and outbound national security risks and are deployed across Australia’s major international airports and airports that operate international sectors.

They are responsible for:

  • identifying and intervening with travellers of national security interest and referring them to partner agencies such as the Australian Federal Police when required

  • detaining and/or denying travel being undertaken by travellers of national security interest on behalf of partner agencies

  • detecting and seizing prohibited items or materials such extremist propaganda or images on electronic devices

  • collecting information of intelligence value for whole-of-government efforts in countering terrorism

Note: it is an offence for Australians to enter locations in a foreign country where a listed terrorist organisation is engaged in hostile activity. This is called a Declared Area Offence.

Border Security

They use special technology at airports and seaports to support our officers. They use this technology at our maritime ports, airports, depots, mail centres and also have mobile detection capabilities to guard against terrorism and the movement of illegal or illicit products or substances.

New technology continues to make it easier for them to provide a better border experience for legitimate travellers and traders.

Partnerships

They manage border risks by partnering with domestic and international law enforcement and intelligence agencies. These agencies help us target suspicious people and goods at the border.

Australian International Sea and Air Port total 68.

Source: https://www.abf.gov.au

  1. THE IMMIGRATION & CHECKPOINTS AUTHORITY (ICA)

The Immigration and Checkpoints Authority (ICA) is the border control agency of Singapore. It is a department in the Ministry of Home Affairs. Formed in April 2003. Preceding agencies Singapore Immigration and Registration, Customs and Excise Department, Government of Singapore with Constituting instrument in Immigration Act and National Registration Act.

The Immigration & Checkpoints Authority (ICA) is responsible for securing Singapore’s borders against the entry of undesirable people and cargo through land, air and sea checkpoints.

ICA also administers immigration and registration services, such as issuing passports and Identity Cards to Singapore citizens, and immigration passes and permits to foreigners. ICA enforces laws and regulations relating to immigration and registration. And as the member of the Home Team under the Ministry of Home Affairs.

Mission: Secure borders and uphold laws on immigration and national registration

Vision: Secure Borders, Safe Singapore

Values: Integrity, Commitment and Accountability

  • Legal Powers

ICA officers primarily enforce the Immigration Act and the Passports Act. Immigration officers are authorised to act on behalf of the Controller of Immigration (who is de facto the Commissioner of ICA).Officers may also be empowered as registration officers under the National Registration Act.

Immigration officers can prohibit entry to any person or class of persons for any reason related to the conditions of Singapore. Since 2018, immigration officers have limited policing powers within the checkpoints and in their immediate vicinity. Under the ICC concept, ICA is ultimately responsible for border security at Singapore’s checkpoints.

To facilitate entry for aliens arriving in Singapore, ICA issues a variety of passes. The most common is the social visit pass, which allows aliens to remain in country for a specified number of days. Other types of passes include student passes, dependent’s passes, landing passes and special passes.

  • Contraband smuggling

ICA officers deployed as cargo and baggage examination officers are empowered under the Customs Act to search people and conveyances at any checkpoint. They can then seize any controlled items or contraband found before referring them to the appropriate Controlling Agency such as Singapore Customs or the Central Narcotics Bureau. The most common contraband are duty-unpaid cigarettes and tobacco products due to the high duties imposed on them. Other examples include narcotics, replica firearms, wild animals and unlicensed medicine.

  • Immigration offences

Immigration offenders are referred to ICA’s Enforcement Division (ED) which oversees investigation, prosecution and repatriation matters. Prosecution officers work together with public prosecutors at the Attorney-General’s Chambers to ensure that offenders are lawfully detained and given trial. Examples of common offences include the harbouring of immigration offenders, employing immigrants illegally or entering marriages of convenience. Home owners who have been found guilty of renting their houses to immigration offenders and not carrying out one or more of the mandatory checks may be sentenced to a jail term, fine or both.

  • Counter-terrorism

ICA is Singapore’s first line of defence against potential terrorist threats by restricting the movement of security sensitive persons across international borders. After the escape of Mas Selamat in 2008, all checkpoints immediately stepped up security checks. During the lead-up to the 2018 Trump-Kim Summit, Home Affairs Minister K. Shanmugam revealed that four people had been turned away at the checkpoints for terrorism related reasons.

ICA is part of the Inter-Agency Coordination Group within the Republic of Singapore Navy‘s Maritime Security Task Force. ICA participated in the 2011 Exercise Northstar, in which immigration officers boarded ships to check for immigration offenders, firearms and explosives. ICA also participated in the 2013 Exercise Highcrest which simulated terrorist attacks on one of Singapore’s checkpoints.

  • Services Centres

ICA has three services centres which caters to the different demographics in Singapore.

The Citizen Services Centre issues the pink National Registration Identity Card (NRIC), the certificate of citizenship and the Singapore passport. The Registry of Births and Deaths is also under the Citizen Services Centre.

The Permanent Resident Centre issues the blue NRIC for permanent residents as well as entry and re-entry permits.

The Visitor Services Centre issues visit pass extensions, visas and long term visit pass.

Singapore International Air, Sea and Land Port total 27.

Source: https://www.ica.gov.sg, https://en.m.wikipedia.org

  1. KESIMPULAN BAHASAN.

Dari uraian yang telah disampaikan dapat ditarik beberapa hal pokok yaitu:

  1. Bahwa kedaulatan Negara merupakan kekuasaan tertinggi dari satu Negara dimana kedaulatan diwujudkan dalam bentuk yurisdiksi Negara.

  2. Bahwa setiap Negara berdaulat memiliki hak ekslusif (Exclusive Right) yang antara lain bahwa Negara berdaulat berhak untuk menerima atau menolak kedatangan orang asing ke dalam wilayahnya. Hak ekslusif ini bersifat Jus Cogens. Maka sudah seharusnya prinsip Kedaulatan dijadikan Dasar atau Doktrin Keimigrasian Indonesia karena ia mengemban amanah berupa Hak Untuk Dapat Menerima Atau Menolak Kedatangan Orang Asing Ke Indonesia.

  3. Bahwa yurisdiksi territorial menetapkan bahwa yurisdiksi Negara berlaku atas orang, benda dan perbuatan baik yang ada di wilayah maupun di luar wilayahnya.

  4. Berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi yang diatur dalam UNCLOS dimana posisi Indonesia dikategorikan sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State) maka ada dua wilayah kedaulatan pada fungsi keimigrasian, yaitu:

    1. Wilayah Kedaulatan NKRI (State Souvereignty) selebar 12 mil laut dari pasang surut terluar (Pasal 3 UNCLOS).

    2. Wilayah Berdaulat/Hak Berdaulat NKRI (Souvereignty Right) yaitu pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) selebar 12 mil laut dari garis pantai kepulauan (Pasal 57 UNCLOS).

  1. Politik Hukum Keimigrasian sangat dipengaruhi oleh sikap, tujuan dan kebijakan yang ditetapkan oleh suatu pemerintahan.

  1. Sesuai Pasal 33 ayat 1 dan Pasal 60 ayat 2 UNCLOS dan Pasal 62 UNCLOS secara tegas tertera wewenang dan kewajiban fungsi keimigrasian di dalam hal pengawasan dan penegakkan hukum (bersama fungsi lainnya seperti bea cukai, fiskal, kesehatan, sanitasi).

  2. Dibandingkan dengan Undang-Undang RI Nomor 75 tahun 2006 tentang Kepabeanan Pasal 1 dan Pasal 2, Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 1 dan Pasal 2 tidak secara eksplisit ditegaskan wilayah kerja fungsi keimigrasian khususnya pada wilayah berdaulat/hak berdaulat (Souvereignty Right) seperti yang diatur dalam Pasal 60 ayat 2 UNCLOS.

  3. Di dalam Konvensi melawan kejahatan transnasional terorganisasi dan 2 (dua) protokolnya yaitu: Protokol Perdagangan Orang khususnya wanita dan anak-anak serta Protokol Penyelundupan Migran, Konvensi TOC secara tegas dan eksplisit diamanatkan kepada fungsi keimigrasian untuk melakukan:

  • Kerja sama internasional dalam memberantas kejahatan transnasional terorganisasi;

  • Melakukan pengawasan secara intensif pada perlintasan perbatasan;

  • Menyelenggarakan pertukaran informasi (exchange of information) yang berkaitan dengan modus operandi, jalur penyelundupan serta kelompok yang dicurigai yang melakukan kejahatan transnasional;

  • Menjaga kualitas pengamanan dokumen perjalanan yang diterbitkan sesuai dengan standar internasional (ICAO);

  • Melakukan pelatihan bersama antar Negara peserta misalnya pada bidang teknologi informasi dan teknologi forensik pemalsuan dokumen perjalanan;

  • Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang mutakhir dan tepat guna perlu dibentuk di dalam sistem jaringan informasi dan komunikasi baik secara nasional maupun internasional, harus dapat diandalkan kecepatannya, dan terpercaya serta terintegrasi dengan baik sangat dibutuhkan di dalam melaksanakan sistem operasi pengawasan perbatasan.

  1. Banyak Negara yang telah mengantisipasi perubahan paradigma keimigrasian global dengan lebih menempatkan pengawasan perlintasan manusia di perbatasan dengan membentuk badan-badan pengawasan perlintasan perbatasan yang sangat berorientasi kepada keamanan dan penegakan hukum.

Di samping hal-hal tersebut di atas sesuai dengan Pidato Pengukuhan saya sebagai Guru Besar pada tahun 2015, telah saya kemukakan tentang perubahan paradigma keimigrasian secara universal dimana kasus-kasus keimigrasian saat ini sangat “complicated”, multi dimensi dan multi disipliner, maka perlu diambil langkah-langkah strategis untuk menghadapi perubahan paradigma tersebut.

  1. SARAN

Dari bahasan yang telah dikemukakan serta kesimpulannya, maka dapat disampaikan beberapa alternatif dalam beberapa konsep dasar pengawasan perbatasan Republik Indonesia yang masih perlu dikaji lebih jauh dan mendalam dengan menggunakan Instrumen-instrumen Dasar seperti yang dikemukakan agar diperoleh hasil kajian yang lebih sempurna. Beberapa alternatif tersebut meliputi:

  1. Merujuk pada prinsip yurisdiksi territorial yang mencakup kewenangan atas orang, barang dan perbuatan, maka pada konsepsi ini dapat dibentuk suatu badan yang menangani pengawasan lalu lintas orang, barang dan perbuatannya.

  2. Atau membentuk badan koordinasi yang mengkoordinasikan fungsi-fungsi pemangku kepentingan dalam rangka pengawasan perbatasan.

  3. Atau memberikan kewenangan dan fungsi yang lebih luas kepada unsur-unsur keimigrasian, beacukai, Badan Nasional Pengelola Perbatasan RI guna mengefektifkan dan mengoptimalkan fungsi pengawasan perbatasan dengan tetap mempertahankan masing-masing fungsi pada fungsi-fungsinya.

Namun demikian alternatif yang dikemukakan pada akhirnya lebih bertumpu pada keputusan mengenai politik hukum, kebijakan serta pandangan pemerintah terhadap kondisi perkembangan dan perubahan-perubahan paradigma keimigrasian saat ini apakah akan menitikberatkan pada fungsi pelayanan saja atau pengawasan serta penegakan hukum saja atau keduanya harus berimbang ?, serta sejauh mana diperkirakan kegawatan yang mendesak pada kondisi keimigrasian secara global yang dapat mempengaruhi atau mengganggu Sistem Ketahanan Nasional Indonesia. Apakah Pemerintah Indonesia akan mengambil aksi-aksi kebijakan nasionalnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara lain seperti Amerika, Australia dan Singapura dalam mengantisipasi “Perkiraan Keadaan” di perbatasan negara saat ini dan dimasa mendatang dengan membentuk Badan Pengawasan Perbatasan yang berorientasi kuat pada sekuriti dan penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penterjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, 2008.

M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Cetakan Kedua, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime, Cetakan 1, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2007.

M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam Migrasi Manusia, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2012.

Mary Crock-Ben Saul, Future Seekers-Refugees and The Law in Australia, The Federation Press, NSW Australia, 2002.

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan P.T. Alumni, Bandung, 2003.

Truong, Thanh-Dam and Gasper Eds, Transnational Migration and Human Security: The Migration-Development-Security Nexus, Springer, New York, 2010.

Yudha Bhakti Ardiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Edisi Pertama, P.T. Alumni, Bandung, 1999.

Dokumen Hukum Internasional dan Nasional:

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes 2000.

Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2006 Tentang Kepabeanan.

Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian.

 

 

 

Read Next

Reuni Purnabhakti Pejabat Imigrasi 19 November 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular